Minggu, 13 April 2014

Hukum B.W Vs Hukum Adat dalam Perjanjian Jual Beli


Assalamualaikum Wr.Wb.
Salam Keadilan ,
Apa kabar kumi ? semoga baik – baik aja ya , udah lama nih gak posting disini . Oh ya , sekarang saya akan berbagi pengalaman dan penelitian kecil kecilan saya dan teman-teman saya nih , mengenai perjanjian jual beli yang diatur didalam B.W dan diatur didalam Hukum Adat . Kedua hukum ini merupakan bukti adanya pluralisme hukum negara kita tercinta . Langsung aja ya kita ke pembahasan , cekidot .
A.    Perjanjian Jual Beli Hukum B.W Vs Hukum Adat .
Didalam suatu perjanjian jual beli kita mengenal asas Pacta Sunt Servanda yang memiliki arti “ setiap perjanjian menjadi hukum yang mengikat bagi para pihak yang melakukan perjanjian[1] " . Asas menjadi tumpuan perjanjian diseluruh dunia , termasuk Indonesia . Negara Indonesia sendiri memiliki 2 sistem jual beli , yaitu .

1.      Perjanjian Jual Beli Hukum B.W
Perjanjian jual beli hukum B.W diberlakukan di Indonesia karena menurut Pasal 1 aturan peralihan UUD. Didalam Perjanjian jual beli hukum B.W , memiliki ketentuan-ketentuan / asas untuk melakukan perjanjian jual beli . Ketentuan yang pertama yaitu .
a.        Pasal 1458 B.W memiliki ketentuan sebagai berikut
“Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, ketika orang-orang itu telah mencapai kesepakatan tentang barang tersebut beserta harganya, meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar ” .
b.      Pasal 1865 B.W memiliki ketentuan sebagai berikut
Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah hak orang lain , menunjuk pada suatu peristiwa , diwajibkan membuktikan adanya peristiwa tersebut “ . Pasal ini menjelaskan bahwa setiap orang diwajibkan membuktikan sesuatu itu miliknya , biasanya hal ini terjadi didalam peristiwa jual beli dan gadai ( pand )  . Didalam hal pembuktian , pasal 1867 B.W menerangkah bahwa “ Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan otentik atau tulisan dibawah tangan “ , sehingga ketika kedua belah pihak ingin melakukan sebuah perjanjian jual beli / gadai , harus dibuatkan suatu bukti dengan tulisan . Dan perlu kita ketahui juga bahwa didalam hukum perdata ada asas yang menyatakan “ Kejujuran itu ada pada setiap orang , sedangkan ketidakjujuran itu harus dibuktikan [2] !
2.      Perjanjian Jual Beli Hukum Adat .
Perjanjian jual beli didalam masyarakat hukum adat biasanya dalam jual beli mempunyai sifat Kontan ( Tunai ) dan percaya yang kuat . Kontan ( Tunai ) adalah suatu bentuk prestasi yang dilakukan sekaligus bersama-sama pada waktu itu juga[3]. Lalu , sifat percaya yang kuat yaitu saling percaya satu sama lain , antara pembeli dan penjual dalam proses jual beli , sehingga didalam proses tersebut , mereka tidak membuat bukti tertulis karena mereka sudah saling percaya .
I tu dia perbandingan perjanjian jual beli hukum B.W dengan hukum adat . Jadi ,kalau dihukum B.W , memiliki ketentuan , “ jual beli sudah terjadi apabila sudah terucap kata sepakat , walaupun barang tersebut belum diserahkan dan harganya belum dibayar “ dan dalam perjanjian jual beli pun diharuskan untuk membuat suatu bukti tertulis sebagai ketentuan yang sudah ditetapkan untuk masalah pembuktian .
Sedangkan didalam hukum adat , jual beli berasaskan sifat Kontan yang memiliki ketentuan “ jual beli terjadi bersama-sama pada saat waktu itu juga “ , sehingga walaupun sudah terucap kata sepakat antara kedua belah pihak itu belum terjadi jual beli . Adapun didalam jual beli , masyarakat adat tidak mengenal namanya pembuktian tertulis , karena masyarakat adat memiliki sifat percaya , saling percaya satu sama lain , jadi tidak perlu namanya jual beli dengan membuat bukti tertulis seperti didalam B.W.
Lalu bagaimana implementasinya ? terus hukum mana yang sering dipakai dimasyarakat adat ? . Ketika saya dan teman-teman mengadakan penelitian kecil-kecilan didaerah pasar kebon besar , purwokerto . Menurut penelitian kami dari 5 sempel masyarakat adat , ada 4 masyarakat adat yang masih menggunakan sifat kontan didalam perjanjian jual beli , dan 1 masyarakat adat yang menggunakan perjanjian jual beli didalam hukum B.W . Saat kami mewawancarai masyarakat adat yang masih menggunakan perjanjian jual beli didalam B.W , ia beranggapan bahwa “ ketika kita sudah sepakat ,  maka barang yang akan dibeli tersebut saya simpan / tidak dijual , walaupun duid belum dikasih kepada saya “ . Pernyataan tersebut merupakan bentuk tindakan yang diatur dalam pasal 1458 B.W .
Sedangkan , saat kami mewawancari masyarakat ada yang msh menggunakan sifat kontan , ia beranggapan bahwa “ ada uang , ada barang dan siapa yang cepat , dia yang dapat . “ , lalu ia menambahkan “ walaupun kita sudah sepakat  sipembeli akan datang lagi esok hari  , tetap saja siapa cepat dia dapat “ . Ini merupakan bentuk tindakan yang timbul dari adanya sifat kontan didalam masyarakat.
Jadi , dapat dikatakan bahwa , masyarakat adat masih menggunakan sifat kontan  didalam perjanjian jual beli hukum adat  , meskipun tidak menutup kemungkinan juga , ada yang memakai perjanjian jual beli hukum B.W .
Nah itu dia perbedaannya dan implementasinya yang saya dan teman-teman saya dapatkan ketika melakukan penelitian kecil-kecilan . Oh ya kalau kumi  didalam perjanjian jual beli sering memakai yang mana ? kalau saya sih sifat kontan , “ ada uang , ada barang “ bukan “ ada uang , abang sayang , gak ada uang abang tending “ bukan kaya gini ya , hehe .

*Foto penelitian empiris 








[1] Drs. Sukarmi ,  Cyber Law : Kontrak Elektronik dalam baying-bayang pelaku usaha ,( Bandung : Pustaka sutra , 2007 )
[2] Prof . Subhekti , S.H., “ Pokok-Pokok Hukum Perdata “ ( Jakarta : Intermasa , 2003
[3] Prof . Iman Sudiyat , S.H ,  Asas – Asa Hukum Adat  Bekal Penghantar , ( Yogyakarta : Liberty , 2010 ) 

0 komentar:

Posting Komentar