Assalamualaikum
Wr.Wb.
Salam
Keadilan ,
Apa
kabar kumi ? semoga baik – baik aja ya , udah lama nih gak posting disini . Oh
ya , sekarang saya akan berbagi pengalaman dan penelitian kecil kecilan saya
dan teman-teman saya nih , mengenai perjanjian jual beli yang diatur didalam
B.W dan diatur didalam Hukum Adat . Kedua hukum ini merupakan bukti adanya
pluralisme hukum negara kita tercinta . Langsung aja ya kita ke pembahasan ,
cekidot .
A. Perjanjian
Jual Beli Hukum B.W Vs Hukum Adat .
Didalam
suatu perjanjian jual beli kita mengenal asas Pacta Sunt Servanda yang memiliki arti “ setiap perjanjian menjadi
hukum yang mengikat bagi para pihak yang melakukan perjanjian[1]
" . Asas menjadi tumpuan perjanjian diseluruh dunia , termasuk Indonesia .
Negara Indonesia sendiri memiliki 2 sistem jual beli , yaitu .
1. Perjanjian
Jual Beli Hukum B.W
Perjanjian jual beli hukum B.W diberlakukan di
Indonesia karena menurut Pasal 1 aturan peralihan UUD. Didalam Perjanjian jual
beli hukum B.W , memiliki ketentuan-ketentuan / asas untuk melakukan perjanjian
jual beli . Ketentuan yang pertama yaitu .
a. Pasal 1458 B.W memiliki ketentuan sebagai
berikut
“Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, ketika orang-orang itu telah mencapai kesepakatan tentang barang tersebut beserta harganya, meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar ” .
“Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, ketika orang-orang itu telah mencapai kesepakatan tentang barang tersebut beserta harganya, meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar ” .
b.
Pasal 1865 B.W memiliki ketentuan sebagai
berikut
“ Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah hak orang lain , menunjuk pada suatu peristiwa , diwajibkan membuktikan adanya peristiwa tersebut “ . Pasal ini menjelaskan bahwa setiap orang diwajibkan membuktikan sesuatu itu miliknya , biasanya hal ini terjadi didalam peristiwa jual beli dan gadai ( pand ) . Didalam hal pembuktian , pasal 1867 B.W menerangkah bahwa “ Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan otentik atau tulisan dibawah tangan “ , sehingga ketika kedua belah pihak ingin melakukan sebuah perjanjian jual beli / gadai , harus dibuatkan suatu bukti dengan tulisan . Dan perlu kita ketahui juga bahwa didalam hukum perdata ada asas yang menyatakan “ Kejujuran itu ada pada setiap orang , sedangkan ketidakjujuran itu harus dibuktikan [2] !
“ Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah hak orang lain , menunjuk pada suatu peristiwa , diwajibkan membuktikan adanya peristiwa tersebut “ . Pasal ini menjelaskan bahwa setiap orang diwajibkan membuktikan sesuatu itu miliknya , biasanya hal ini terjadi didalam peristiwa jual beli dan gadai ( pand ) . Didalam hal pembuktian , pasal 1867 B.W menerangkah bahwa “ Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan otentik atau tulisan dibawah tangan “ , sehingga ketika kedua belah pihak ingin melakukan sebuah perjanjian jual beli / gadai , harus dibuatkan suatu bukti dengan tulisan . Dan perlu kita ketahui juga bahwa didalam hukum perdata ada asas yang menyatakan “ Kejujuran itu ada pada setiap orang , sedangkan ketidakjujuran itu harus dibuktikan [2] !
2. Perjanjian
Jual Beli Hukum Adat .
Perjanjian jual beli didalam
masyarakat hukum adat biasanya dalam jual beli mempunyai sifat Kontan ( Tunai ) dan percaya yang kuat .
Kontan ( Tunai ) adalah suatu bentuk
prestasi yang dilakukan sekaligus bersama-sama pada waktu itu juga[3].
Lalu , sifat percaya yang kuat yaitu saling percaya satu sama lain , antara
pembeli dan penjual dalam proses jual beli , sehingga didalam proses tersebut ,
mereka tidak membuat bukti tertulis karena
mereka sudah saling percaya .
I tu dia
perbandingan perjanjian jual beli hukum B.W dengan hukum adat . Jadi ,kalau
dihukum B.W , memiliki ketentuan , “ jual beli sudah terjadi apabila sudah
terucap kata sepakat , walaupun barang tersebut belum diserahkan dan harganya
belum dibayar “ dan dalam perjanjian jual beli pun diharuskan untuk membuat
suatu bukti tertulis sebagai ketentuan
yang sudah ditetapkan untuk masalah pembuktian .
Sedangkan
didalam hukum adat , jual beli berasaskan sifat Kontan yang memiliki ketentuan
“ jual beli terjadi bersama-sama pada saat waktu itu juga “ , sehingga walaupun
sudah terucap kata sepakat antara kedua belah pihak itu belum terjadi jual beli
. Adapun didalam jual beli , masyarakat adat tidak mengenal namanya pembuktian tertulis , karena masyarakat
adat memiliki sifat percaya , saling percaya satu sama lain , jadi tidak perlu
namanya jual beli dengan membuat bukti tertulis seperti didalam B.W.
Lalu bagaimana
implementasinya ? terus hukum mana yang sering dipakai dimasyarakat adat ? .
Ketika saya dan teman-teman mengadakan penelitian kecil-kecilan didaerah pasar
kebon besar , purwokerto . Menurut penelitian kami dari 5 sempel masyarakat
adat , ada 4 masyarakat adat yang masih menggunakan sifat kontan didalam perjanjian jual beli , dan 1 masyarakat adat yang
menggunakan perjanjian jual beli didalam hukum B.W . Saat kami mewawancarai
masyarakat adat yang masih menggunakan perjanjian jual beli didalam B.W , ia
beranggapan bahwa “ ketika kita sudah
sepakat , maka barang yang akan dibeli
tersebut saya simpan / tidak dijual , walaupun duid belum dikasih kepada saya “
. Pernyataan tersebut merupakan bentuk tindakan yang diatur dalam pasal 1458
B.W .
Sedangkan
, saat kami mewawancari masyarakat ada yang msh menggunakan sifat kontan , ia beranggapan bahwa “ ada uang , ada barang dan siapa yang cepat ,
dia yang dapat . “ , lalu ia menambahkan “ walaupun kita sudah sepakat
sipembeli akan datang lagi esok hari
, tetap saja siapa cepat dia dapat “ . Ini merupakan bentuk tindakan
yang timbul dari adanya sifat kontan
didalam masyarakat.
Jadi ,
dapat dikatakan bahwa , masyarakat adat masih menggunakan sifat kontan didalam perjanjian jual beli hukum adat , meskipun tidak menutup kemungkinan juga ,
ada yang memakai perjanjian jual beli hukum B.W .
Nah itu
dia perbedaannya dan implementasinya yang saya dan teman-teman saya dapatkan
ketika melakukan penelitian kecil-kecilan . Oh ya kalau kumi didalam perjanjian jual beli sering memakai
yang mana ? kalau saya sih sifat kontan ,
“ ada uang , ada barang “ bukan “ ada uang , abang sayang , gak ada uang abang
tending “ bukan kaya gini ya , hehe .
*Foto penelitian empiris
*Foto penelitian empiris
[1]
Drs. Sukarmi , Cyber Law : Kontrak Elektronik dalam
baying-bayang pelaku usaha ,( Bandung : Pustaka sutra , 2007 )
[2]
Prof . Subhekti , S.H., “ Pokok-Pokok Hukum Perdata “ ( Jakarta : Intermasa , 2003
[3]
Prof . Iman Sudiyat , S.H , Asas – Asa Hukum Adat Bekal Penghantar , ( Yogyakarta : Liberty
, 2010 )
0 komentar:
Posting Komentar